Sabtu, 30 November 2013

Mengerti Apa Yang Terjadi Di Seputar Natal

Setiap tahun umat Kristiani merayakan Natal. Bagi umat Katolik, perayaan Natal didahului dengan persiapan masa Natal, yaitu Masa Adven yang merupakan masa persiapan kedatangan Kristus. Bagi banyak orang, Natal dan Adven identik dengan pohon natal, kandang natal, dan hadiah natal. Namun, lebih daripada itu, hal yang terpenting dilakukan adalah persiapan rohani untuk menyambut Kristus. Namun sayangnya, banyak orang kurang mengetahui alasan dan makna di balik semua persiapan rohani yang dilakukan. Berikut adalah artikel yang diambil dari situs katolisitas.org yang mengupas tradisi di seputar Natal (tulisan tentang masa Adven, klik di sini), sehingga kita yang meraywakan akan semakin menghargai apa yang biasa kita lakukan. Semoga bermanfaat.


Seputar Natal

1. Kedatangan Yesus menjadi Anno Domini

Secara tidak sadar, sebenarnya dunia mengakui kedatangan Kristus sebagai satu hal yang begitu istimewa, karena perhitungan kalendar internasional menggunakan acuan kedatangan Kristus, yaitu yang dinamakan Anno Domini (AD), artinya tahun Tuhan, untuk menandai tahun-tahun sesudah kelahiran Kristus; dan BC, yaitu singkatan dari Before Christ untuk tahun- tahun sebelum kelahiran Kristus. Dengan demikian, kedatangan Kristus membagi sejarah manusia menjadi dua, dan titik pusatnya adalah Kristus sendiri. Ini adalah kenyataan yang terjadi berabad-abad dan patokan AD dan BC akan terus berlaku sampai akhir zaman.
Namun, kalau kita mengadakan perhitungan, sebenarnya kedatangan Kristus bukanlah permulaan tahun AD, namun sekitar 7BC – 5BC. Dionysius Exiguus (470-544) adalah seorang anggota Scythian monks, yang akhirnya tinggal di Roma sekitar tahun 500. Dionysius adalah orang yang pertama kali memperkenalkan AD (Anno Domini / the year of the Lord) pada waktu dia membuat kalendar Paskah (Easter). Sistem penanggalan ini menggantikan sistem penanggalan Diocletian, karena Dionysius tidak ingin menggunakan perhitungan Diocletian, seorang Kaisar yang menganiaya jemaat Kristen di abad ke-3. Dionysius mengatakan bahwa Anno Domini dimulai 754 tahun dari pondasi Roma (A.U.C) atau tahun 1 AD, yaitu tahun dimana Yesus lahir (dalam perhitungan Dionysius). Namun berdasarkan perhitungan para ahli, terutama berdasarkan bukti sejarah dari Josephus, maka perhitungan ini tidaklah benar.
Kitab Matius mengatakan “Sesudah Yesus dilahirkan di Betlehem di tanah Yudea pada zaman raja Herodes, datanglah orang-orang majus dari Timur ke Yerusalem” (Mt 2:1). Josephus, seorang ahli sejarah mengatakan bahwa Raja Herodes meninggal setelah berkuasa selama 34 tahun (de facto) dari meninggalnya Antigonus dan 37 tahun (de jure) sejak Roma mengeluarkan perintah yang menyatakan bahwa dia adalah raja (Josephus, Antiquities, 17,8,1). Antigonus meninggal pada saat Marcus Agrippa dan Lucius Caninius Gallus menjadi konsulat, yaitu pada tahun 37 BC.[1]. Herodes menjadi raja pada saat Caius Domitias Calvinus dan Caius Asinius Pollio menjadi konsulat pada tahun 40 BC. Perhitungannya adalah sebagai berikut: Dihitung dari meninggalnya Antigonus: 37 BC – 34 = 3 BC atau dihitung dari Raja Herodes menjadi raja: 40 BC – 37 = 3 BC.
Oleh karena itu, raja Herodes dipercaya meninggal sekitar 3 BC – 5 BC, atau kemungkinan sekitar 4 BC. Hal ini dikarenakan Josephus mengatakan bahwa pada saat tahun itu juga terjadi gerhana bulan (Josephus, Antiquities, 17,6, 4). Dan gerhana bulan ini terjadi pada tahun 4 BC. Karena Herodes meninggal tahun 4 BC, maka Kristus harus lahir sebelum tahun 4 BC. Dan diperkirakan Yesus lahir beberapa tahun sebelum kematian raja Herodes. Berdasarkan perhitungan tersebut di atas, para ahli percaya bahwa kelahiran Yesus adalah sekitar tahun 7 BC – 6 BC.

2. Mengapa merayakan Natal tanggal 25 Desember

Setiap tahun kita merayakan hari Natal, yaitu Hari Kelahiran Yesus Kristus. Namun mungkin banyak di antara kita yang mempunyai pertanyaan- pertanyaan sehubungan dengan perayaan Natal, setidak-tidaknya seperti tiga buah pertanyaan berikut ini. Pertama, tentang asal-usul perayaan Natal. Kedua, apa perlunya merayakan Natal, mengingat kata Natal tidak disebut dalam Kitab Suci. Ketiga, bolehkah merayakan Natal sebelum tanggal 25 Desember?[2]
Memang ada beberapa teori tentang asal mula hari Natal dan Tahun Baru. Menurut Catholic Encyclopedia, pesta Natal pertama kali disebut dalam “Depositio Martyrum” dalam Roman Chronograph 354 (edisi Valentini-Zucchetti (Vatican City, 1942) 2:17).[3] Dan karena Depositio Martyrum ditulis sekitar tahun 336, maka disimpulkan bahwa perayaan Natal dimulai sekitar pertengahan abad ke-4.
Kita juga tidak tahu secara persis tanggal kelahiran Kristus, namun para ahli memperkirakan sekitar 8-6 BC (Sebelum Masehi). St. Yohanes Krisostomus berargumentasi bahwa Natal memang jatuh pada tanggal 25 Desember, dengan perhitungan kelahiran Yohanes Pembaptis. Karena Zakaria adalah imam agung dan hari silih (Atonement) jatuh pada tanggal 24 September, maka Yohanes Pembaptis lahir tanggal 24 Juni dan Kristus lahir enam bulan setelahnya, yaitu tanggal 25 Desember.[4]
Ada juga sejumlah orang yang meyakini bahwa kelahiran Kristus jatuh pada tanggal 25 Desember, berdasarkan tanggal winter solstice (25 Desember dalam kalendar Julian), karena pada tanggal tersebut, matahari mulai kembali ke utara. Ada juga yang kemudian menghubungkan tanggal tersebut dengan kebiasaan kaum kafir /pagan berpesta “dies natalis Solis Invicti” (perayaan dewa Matahari); dan penetapan Kaisar Aurelian  di tahun 274, bahwa dewa matahari adalah pelindung kerajaan Roma, yang dirayakan setiap tanggal 25 Desember. ((Ibid.)) Hal serupa juga berlaku untuk tahun baru, yang dikatakan berasal dari kebiasaan suku Babilonia. Namun sejujurnya, semua itu merupakan spekulasi.
Namun, anggaplah bahwa data tersebut di atas benar, dan pesta Natal diambil dari kebiasaan kaum kafir, maka pertanyaannya, apakah kita sebagai orang Kristen boleh merayakannya? Jawabannya YA, dengan beberapa alasan:
a. Alasan inkulturasi. Kita tidak harus menghapus semua hal di dalam sejarah atau kebiasaan tertentu di dalam kebudayaan tertentu, sejauh itu tidak bertentangan dengan ajaran dan doktrin Gereja dan juga membantu manusia untuk lebih dapat menerima Kekristenan. Esensi dari perayaan Natal adalah kita ingin memperingati kelahiran Yesus Kristus, yang menunjukkan misteri inkarnasi yaitu Allah menjelma manjadi manusia. Dan karena Yesus adalah Terang Dunia (Lih. Yoh 8:12; Yoh 9:5), maka sangat wajar untuk mengganti penyembahan kepada dewa matahari dengan Allah Putera, yaitu Yesus, Sang Terang Dunia itu. Dan karena Yesus adalah “awal dan akhir” dan datang “untuk membuat semuanya baru” (Why 21:5-6), maka tahun kelahiran Kristus diperhitungkan sebagai tahun pertama atau disebut 1 Masehi. Dengan ini, maka orang-orang yang tadinya merayakan dewa matahari, setelah menjadi Kristen, mereka merayakan Tuhan yang benar, yaitu Yesus Sang Terang Dunia. Dan orang-orang tersebut akan dengan mudah menerima Kekristenan, sedangkan Gereja juga tidak mengorbankan nilai-nilai Kekristenan.
Namun di satu sisi, Gereja tidak pernah berkompromi terhadap hari Tuhan, yang kita peringati setiap hari Minggu. Di sini Gereja mengetahui secara persis, bahwa kematian Tuhan Yesus di kayu salib jatuh pada hari Jumat, dan kebangkitan-Nya adalah hari Minggu. Pada masa Gereja awal, ada sekelompok orang yang memaksakan untuk mengadakan hari Tuhan pada hari Sabat (mulai hari Jumat sore sampai Sabtu malam). Namun beberapa Santo di abad awal mempertahankan bahwa hari Tuhan adalah hari Minggu dengan alasan: 1) Yesus bangkit pada hari Minggu, 2) Yesus memperbaharui hukum dalam Perjanjian Baru dengan hukum yang baru. Dengan dasar inilah Gereja tetap teguh mempertahankan hari Minggu sebagai hari Tuhan. Namun dalam hal perayaan Natal, tidak ada yang tahu secara persis hari kelahiran Tuhan Yesus, sehingga perayaannya ditentukan dengan pertimbangan tertentu, sebagaimana disebutkan di atas, tanpa mengorbankan prinsip ajarannya.
b. Kalau kita amati, manusia dalam relung hatinya mempunyai keinginan untuk menemukan Penciptanya. Penyembahan kepada dewa matahari merupakan perwujudan bahwa menusia mengakui bahwa ada sesuatu yang lebih tinggi daripada dirinya, dan mereka menganggap ‘sesuatu’ itu adalah matahari, yang dipandang dapat memberikan kehidupan bagi mahluk hidup pada waktu itu. Namun sesuai dengan prinsip grace perfects nature atau rahmat menyempurnakan sifat alamiah[5] , maka tidak ada salahnya untuk mengadopsi tanggal yang sama, dengan menyempurnakan konsep yang salah sehingga menjadi benar, dalam hal ini, penyembahan terhadap dewa terang/ matahari dialihkan kepada penyembahan kepada Yesus, Sang Sumber Terang, yang menciptakan matahari dan segala ciptaan lainnya.
c. Adalah baik untuk mempunyai tanggal tertentu (dalam hal ini 25 Desember untuk perayaan Natal), yang setiap tahun diulang tanpa henti sampai pada akhir dunia. Tanggal ini senantiasa akan mengingatkan kita akan kelahiran Yesus Kristus. Kalau kita mengadakan angket di seluruh dunia, dengan pertanyaan “Kita memperingati apakah pada tanggal 25 Desember?”, kita dapat yakin bahwa hampir semua jawaban akan mengatakan “Hari Natal, atau kelahiran Kristus” dan bukan merayakan dewa matahari, ataupun perayaan lainnya.
d. Untuk umat Katolik, melalui masa Adven, Gereja menginginkan agar seluruh umat Katolik mempersiapkan diri menyambut datangnya Sang Raja. Dari sini kita melihat bahwa Gereja Katolik justru mendorong kita semua untuk mengambil bagian dalam persiapan Natal, yaitu dengan pertobatan, agar hati kita siap menyambut kedatangan-Nya yang kita rayakan pada tanggal 25 Desember.
Namun, bukankah Natal tidak pernah disebutkan dalam Kitab Suci? Mengapa kita tetap merayakan Natal? Kita tahu, bahwa tidak semua hal disebutkan di dalam Kitab Suci (lih. Yoh 21:25), termasuk kata Inkarnasi, Trinitas, Natal. Jangan lupa juga bahwa Kitab Suci pun tidak pernah menuliskan larangan untuk merayakan Natal. Satu hal yang pasti adalah kelahiran Yesus disebutkan di dalam Kitab Suci. Merayakan misteri Inkarnasi, merayakan Tuhan datang ke dunia dalam rupa manusia, merayakan bukti cinta kasih Allah kepada manusia adalah esensi dari perayaan Natal. Dengan demikian, perayaan Natal adalah hal yang sangat baik, karena seluruh umat Allah memperingati belas kasih Allah. Kalau memperingati ulang tahun anak kita adalah sesuatu yang baik – karena mengingatkan akan kasih Allah yang memberikan anak di dalam keluarga kita, maka seharusnya memperingati ulang tahun Sang Penyelamat kita adalah hal yang amat sangat baik, bahkan sudah seharusnya dilakukan.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah boleh merayakan Natal sebelum tanggal 25 Desember atau sesudah lewat masa Natal? Sebenarnya, dari pemahaman makna Adven, kita, umat Katolik,  tidak dianjurkan untuk merayakan Natal sebelum hari Natal. Sebab justru karena kita menghargai hari Natal sebagai hari yang sangat istimewa, maka kita perlu mempersiapkan diri untuk menyambutnya. Persiapan ini kita lakukan dengan masa pertobatan selama 4 minggu, yaitu mengosongkan diri kita dari segala dosa yang menghalangi kita menyambut Sang Juru Selamat; agar pada hari kelahiran-Nya, kita dapat mengalami lahir-Nya Kristus secara baru di dalam hati kita. Dengan demikian, kalau kita ingin merayakan Natal bersama keluarga, mari kita rayakan setelah Malam Natal, setelah hari Natal, selama dalam 8 hari (Oktaf Natal). Gereja Katolik memang merayakan Natal sejak Malam Natal sampai hari Epifani (Minggu Pertama setelah Oktaf Natal) dan bahkan gereja-gereja memasang dekorasi Natal sampai perayaan Pembaptisan Yesus oleh Yohanes Pembaptis (hari Minggu setelah tanggal 6 Januari).

3. Mengapa pohon cemara?

Sejarah pohon natal dapat ditelusuri sampai di sekitar abad ke-8, saat St. Bonifasius (675-754), seorang uskup Inggris, menyebarkan iman Katolik di Jerman. Pada saat dia meninggalkan Jerman dan pergi ke Roma sekitar 15 tahun lamanya, jemaat yang dia tinggalkan kembali lagi kepada kebiasaan mereka untuk mempersembahkan kurban berhala di bawah pohon Oak. Namun dengan berani St. Bonifasius menentang hal ini dan kemudian menebang pohon Oak tersebut. Jemaat kemudian bertanya bagaimana caranya mereka dapat merayakan Natal. Maka St. Bonifasius kemudian menunjuk kepada pohon fir atau pine, yang melambangkan damai dan kekekalan karena senantiasa hijau sepanjang tahun. Juga karena bentuknya meruncing ke atas, maka itu mengingatkan akan surga. Bentuk pohon yang berupa segitiga dan menjulang ke atas serta hijau sepanjang tahun, inilah mengingatkan kita akan misteri Trinitas, Allah yang kekal untuk selama-lamanya, yang turun ke dunia dalam diri Kristus untuk menyelamatkan manusia.
Maka walaupun memang tradisi pohon cemara tidak diperoleh dari jaman dan tempat asal Yesus, penggunaan pohon cemara tidak bertentangan dengan pengajaran Kitab Suci. Dalam hal ini, yang dipentingkan adalah maknanya: yaitu untuk mengingatkan umat Kristiani agar mengingat misteri kasih Allah Trinitas yang kekal selamanya, yang dinyatakan dengan kelahiran Yesus Sang Putera ke dunia demi menebus dosa manusia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar