Setiap tahun umat Kristiani merayakan Natal. Bagi umat Katolik, perayaan
Natal didahului dengan persiapan masa Natal, yaitu Masa Adven yang
merupakan masa persiapan kedatangan Kristus. Bagi banyak orang, Natal
dan Adven identik dengan pohon natal, kandang natal, dan hadiah natal.
Namun, lebih daripada itu, hal yang terpenting dilakukan adalah
persiapan rohani untuk menyambut Kristus. Namun sayangnya, banyak orang
kurang mengetahui alasan dan makna di balik semua persiapan rohani yang
dilakukan. Berikut adalah artikel yang diambil dari situs katolisitas.org yang mengupas tradisi di seputar Natal (tulisan tentang masa Adven, klik di sini), sehingga kita yang meraywakan akan semakin menghargai apa yang biasa kita lakukan. Semoga bermanfaat.
Seputar Natal
1. Kedatangan Yesus menjadi Anno Domini
Secara tidak sadar, sebenarnya dunia mengakui kedatangan Kristus
sebagai satu hal yang begitu istimewa, karena perhitungan kalendar
internasional menggunakan acuan kedatangan Kristus, yaitu yang dinamakan
Anno Domini (AD), artinya tahun Tuhan, untuk menandai tahun-tahun sesudah kelahiran Kristus; dan BC, yaitu singkatan dari Before Christ
untuk tahun- tahun sebelum kelahiran Kristus. Dengan demikian,
kedatangan Kristus membagi sejarah manusia menjadi dua, dan titik
pusatnya adalah Kristus sendiri. Ini adalah kenyataan yang terjadi
berabad-abad dan patokan AD dan BC akan terus berlaku sampai akhir
zaman.
Namun, kalau kita mengadakan perhitungan, sebenarnya kedatangan
Kristus bukanlah permulaan tahun AD, namun sekitar 7BC – 5BC. Dionysius
Exiguus (470-544) adalah seorang anggota Scythian monks, yang akhirnya tinggal di Roma sekitar tahun 500. Dionysius adalah orang yang pertama kali memperkenalkan AD (Anno Domini / the year of the Lord) pada waktu dia membuat kalendar Paskah (Easter).
Sistem penanggalan ini menggantikan sistem penanggalan Diocletian,
karena Dionysius tidak ingin menggunakan perhitungan Diocletian, seorang
Kaisar yang menganiaya jemaat Kristen di abad ke-3. Dionysius
mengatakan bahwa Anno Domini dimulai 754 tahun dari pondasi
Roma (A.U.C) atau tahun 1 AD, yaitu tahun dimana Yesus lahir (dalam
perhitungan Dionysius). Namun berdasarkan perhitungan para ahli,
terutama berdasarkan bukti sejarah dari Josephus, maka perhitungan ini
tidaklah benar.
Kitab Matius mengatakan “Sesudah Yesus dilahirkan di Betlehem di tanah Yudea pada zaman raja Herodes, datanglah orang-orang majus dari Timur ke Yerusalem” (Mt 2:1). Josephus, seorang ahli sejarah mengatakan bahwa Raja Herodes meninggal setelah berkuasa selama 34 tahun (de facto) dari meninggalnya Antigonus dan 37 tahun (de jure) sejak Roma mengeluarkan perintah yang menyatakan bahwa dia adalah raja (Josephus, Antiquities, 17,8,1). Antigonus meninggal pada saat Marcus Agrippa dan Lucius Caninius Gallus menjadi konsulat, yaitu pada tahun 37 BC.[1].
Herodes menjadi raja pada saat Caius Domitias Calvinus dan Caius
Asinius Pollio menjadi konsulat pada tahun 40 BC. Perhitungannya adalah
sebagai berikut: Dihitung dari meninggalnya Antigonus: 37 BC – 34 = 3 BC
atau dihitung dari Raja Herodes menjadi raja: 40 BC – 37 = 3 BC.
Oleh karena itu, raja Herodes dipercaya meninggal sekitar 3 BC – 5
BC, atau kemungkinan sekitar 4 BC. Hal ini dikarenakan Josephus
mengatakan bahwa pada saat tahun itu juga terjadi gerhana bulan
(Josephus, Antiquities, 17,6, 4). Dan gerhana bulan ini terjadi
pada tahun 4 BC. Karena Herodes meninggal tahun 4 BC, maka Kristus
harus lahir sebelum tahun 4 BC. Dan diperkirakan Yesus lahir beberapa
tahun sebelum kematian raja Herodes. Berdasarkan perhitungan tersebut di
atas, para ahli percaya bahwa kelahiran Yesus adalah sekitar tahun 7 BC
– 6 BC.
2. Mengapa merayakan Natal tanggal 25 Desember
Setiap tahun kita merayakan hari Natal, yaitu Hari Kelahiran Yesus
Kristus. Namun mungkin banyak di antara kita yang mempunyai pertanyaan-
pertanyaan sehubungan dengan perayaan Natal, setidak-tidaknya seperti
tiga buah pertanyaan berikut ini. Pertama, tentang asal-usul perayaan
Natal. Kedua, apa perlunya merayakan Natal, mengingat kata Natal tidak
disebut dalam Kitab Suci. Ketiga, bolehkah merayakan Natal sebelum
tanggal 25 Desember?[2]
Memang ada beberapa teori tentang asal mula hari Natal dan Tahun Baru. Menurut Catholic Encyclopedia, pesta Natal pertama kali disebut dalam “Depositio Martyrum” dalam Roman Chronograph 354 (edisi Valentini-Zucchetti (Vatican City, 1942) 2:17).[3] Dan karena Depositio Martyrum ditulis sekitar tahun 336, maka disimpulkan bahwa perayaan Natal dimulai sekitar pertengahan abad ke-4.
Kita juga tidak tahu secara persis tanggal kelahiran Kristus, namun
para ahli memperkirakan sekitar 8-6 BC (Sebelum Masehi). St. Yohanes
Krisostomus berargumentasi bahwa Natal memang jatuh pada tanggal 25
Desember, dengan perhitungan kelahiran Yohanes Pembaptis. Karena Zakaria
adalah imam agung dan hari silih (Atonement) jatuh pada
tanggal 24 September, maka Yohanes Pembaptis lahir tanggal 24 Juni dan
Kristus lahir enam bulan setelahnya, yaitu tanggal 25 Desember.[4]
Ada juga sejumlah orang yang meyakini bahwa kelahiran Kristus jatuh pada tanggal 25 Desember, berdasarkan tanggal winter solstice
(25 Desember dalam kalendar Julian), karena pada tanggal tersebut,
matahari mulai kembali ke utara. Ada juga yang kemudian menghubungkan
tanggal tersebut dengan kebiasaan kaum kafir /pagan berpesta “dies natalis Solis Invicti”
(perayaan dewa Matahari); dan penetapan Kaisar Aurelian di tahun 274,
bahwa dewa matahari adalah pelindung kerajaan Roma, yang dirayakan
setiap tanggal 25 Desember. ((Ibid.)) Hal serupa juga berlaku
untuk tahun baru, yang dikatakan berasal dari kebiasaan suku Babilonia.
Namun sejujurnya, semua itu merupakan spekulasi.
Namun, anggaplah bahwa data tersebut di atas benar, dan pesta Natal
diambil dari kebiasaan kaum kafir, maka pertanyaannya, apakah kita
sebagai orang Kristen boleh merayakannya? Jawabannya YA, dengan beberapa
alasan:
a. Alasan inkulturasi. Kita tidak harus
menghapus semua hal di dalam sejarah atau kebiasaan tertentu di dalam
kebudayaan tertentu, sejauh itu tidak bertentangan dengan ajaran dan
doktrin Gereja dan juga membantu manusia untuk lebih dapat menerima
Kekristenan. Esensi dari perayaan Natal adalah kita ingin memperingati
kelahiran Yesus Kristus, yang menunjukkan misteri inkarnasi yaitu Allah
menjelma manjadi manusia. Dan karena Yesus adalah Terang Dunia (Lih. Yoh
8:12; Yoh 9:5), maka sangat wajar untuk mengganti penyembahan kepada
dewa matahari dengan Allah Putera, yaitu Yesus, Sang Terang Dunia itu.
Dan karena Yesus adalah “awal dan akhir” dan datang “untuk membuat
semuanya baru” (Why 21:5-6), maka tahun kelahiran Kristus diperhitungkan
sebagai tahun pertama atau disebut 1 Masehi. Dengan ini, maka
orang-orang yang tadinya merayakan dewa matahari, setelah menjadi
Kristen, mereka merayakan Tuhan yang benar, yaitu Yesus Sang Terang
Dunia. Dan orang-orang tersebut akan dengan mudah menerima Kekristenan,
sedangkan Gereja juga tidak mengorbankan nilai-nilai Kekristenan.
Namun di satu sisi, Gereja tidak pernah berkompromi terhadap hari Tuhan, yang kita peringati setiap hari Minggu. Di sini Gereja mengetahui secara persis, bahwa kematian Tuhan Yesus di kayu salib jatuh pada hari Jumat, dan kebangkitan-Nya adalah hari Minggu. Pada masa Gereja awal, ada sekelompok orang yang memaksakan untuk mengadakan hari Tuhan pada hari Sabat (mulai hari Jumat sore sampai Sabtu malam). Namun beberapa Santo di abad awal mempertahankan bahwa hari Tuhan adalah hari Minggu dengan alasan: 1) Yesus bangkit pada hari Minggu, 2) Yesus memperbaharui hukum dalam Perjanjian Baru dengan hukum yang baru. Dengan dasar inilah Gereja tetap teguh mempertahankan hari Minggu sebagai hari Tuhan. Namun dalam hal perayaan Natal, tidak ada yang tahu secara persis hari kelahiran Tuhan Yesus, sehingga perayaannya ditentukan dengan pertimbangan tertentu, sebagaimana disebutkan di atas, tanpa mengorbankan prinsip ajarannya.
Namun di satu sisi, Gereja tidak pernah berkompromi terhadap hari Tuhan, yang kita peringati setiap hari Minggu. Di sini Gereja mengetahui secara persis, bahwa kematian Tuhan Yesus di kayu salib jatuh pada hari Jumat, dan kebangkitan-Nya adalah hari Minggu. Pada masa Gereja awal, ada sekelompok orang yang memaksakan untuk mengadakan hari Tuhan pada hari Sabat (mulai hari Jumat sore sampai Sabtu malam). Namun beberapa Santo di abad awal mempertahankan bahwa hari Tuhan adalah hari Minggu dengan alasan: 1) Yesus bangkit pada hari Minggu, 2) Yesus memperbaharui hukum dalam Perjanjian Baru dengan hukum yang baru. Dengan dasar inilah Gereja tetap teguh mempertahankan hari Minggu sebagai hari Tuhan. Namun dalam hal perayaan Natal, tidak ada yang tahu secara persis hari kelahiran Tuhan Yesus, sehingga perayaannya ditentukan dengan pertimbangan tertentu, sebagaimana disebutkan di atas, tanpa mengorbankan prinsip ajarannya.
b. Kalau kita amati, manusia dalam relung
hatinya mempunyai keinginan untuk menemukan Penciptanya. Penyembahan
kepada dewa matahari merupakan perwujudan bahwa menusia mengakui bahwa
ada sesuatu yang lebih tinggi daripada dirinya, dan mereka menganggap
‘sesuatu’ itu adalah matahari, yang dipandang dapat memberikan kehidupan
bagi mahluk hidup pada waktu itu. Namun sesuai dengan prinsip “grace perfects nature atau rahmat menyempurnakan sifat alamiah”[5]
, maka tidak ada salahnya untuk mengadopsi tanggal yang sama, dengan
menyempurnakan konsep yang salah sehingga menjadi benar, dalam hal ini,
penyembahan terhadap dewa terang/ matahari dialihkan kepada penyembahan
kepada Yesus, Sang Sumber Terang, yang menciptakan matahari dan segala
ciptaan lainnya.
c. Adalah baik untuk mempunyai tanggal
tertentu (dalam hal ini 25 Desember untuk perayaan Natal), yang setiap
tahun diulang tanpa henti sampai pada akhir dunia. Tanggal ini
senantiasa akan mengingatkan kita akan kelahiran Yesus Kristus. Kalau
kita mengadakan angket di seluruh dunia, dengan pertanyaan “Kita
memperingati apakah pada tanggal 25 Desember?”, kita dapat yakin bahwa
hampir semua jawaban akan mengatakan “Hari Natal, atau kelahiran
Kristus” dan bukan merayakan dewa matahari, ataupun perayaan lainnya.
d. Untuk umat Katolik, melalui masa
Adven, Gereja menginginkan agar seluruh umat Katolik mempersiapkan diri
menyambut datangnya Sang Raja. Dari sini kita melihat bahwa Gereja
Katolik justru mendorong kita semua untuk mengambil bagian dalam
persiapan Natal, yaitu dengan pertobatan, agar hati kita siap menyambut
kedatangan-Nya yang kita rayakan pada tanggal 25 Desember.
Namun, bukankah Natal tidak pernah disebutkan dalam Kitab Suci?
Mengapa kita tetap merayakan Natal? Kita tahu, bahwa tidak semua hal
disebutkan di dalam Kitab Suci (lih. Yoh 21:25), termasuk kata
Inkarnasi, Trinitas, Natal. Jangan lupa juga bahwa Kitab Suci pun tidak
pernah menuliskan larangan untuk merayakan Natal. Satu hal yang pasti
adalah kelahiran Yesus disebutkan di dalam Kitab Suci. Merayakan misteri
Inkarnasi, merayakan Tuhan datang ke dunia dalam rupa manusia,
merayakan bukti cinta kasih Allah kepada manusia adalah esensi dari
perayaan Natal. Dengan demikian, perayaan Natal adalah hal yang sangat
baik, karena seluruh umat Allah memperingati belas kasih Allah. Kalau
memperingati ulang tahun anak kita adalah sesuatu yang baik – karena
mengingatkan akan kasih Allah yang memberikan anak di dalam keluarga
kita, maka seharusnya memperingati ulang tahun Sang Penyelamat kita
adalah hal yang amat sangat baik, bahkan sudah seharusnya dilakukan.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah boleh merayakan Natal sebelum tanggal 25 Desember atau sesudah lewat masa Natal? Sebenarnya,
dari pemahaman makna Adven, kita, umat Katolik, tidak dianjurkan untuk
merayakan Natal sebelum hari Natal. Sebab justru karena kita menghargai
hari Natal sebagai hari yang sangat istimewa, maka kita perlu
mempersiapkan diri untuk menyambutnya. Persiapan ini kita lakukan dengan
masa pertobatan selama 4 minggu, yaitu mengosongkan diri kita dari
segala dosa yang menghalangi kita menyambut Sang Juru Selamat; agar pada
hari kelahiran-Nya, kita dapat mengalami lahir-Nya Kristus secara baru
di dalam hati kita. Dengan demikian, kalau kita ingin merayakan Natal
bersama keluarga, mari kita rayakan setelah Malam Natal, setelah hari
Natal, selama dalam 8 hari (Oktaf Natal). Gereja Katolik memang
merayakan Natal sejak Malam Natal sampai hari Epifani (Minggu Pertama
setelah Oktaf Natal) dan bahkan gereja-gereja memasang dekorasi Natal
sampai perayaan Pembaptisan Yesus oleh Yohanes Pembaptis (hari Minggu
setelah tanggal 6 Januari).
3. Mengapa pohon cemara?
Sejarah pohon natal dapat ditelusuri sampai di sekitar abad ke-8,
saat St. Bonifasius (675-754), seorang uskup Inggris, menyebarkan iman
Katolik di Jerman. Pada saat dia meninggalkan Jerman dan pergi ke Roma
sekitar 15 tahun lamanya, jemaat yang dia tinggalkan kembali lagi kepada
kebiasaan mereka untuk mempersembahkan kurban berhala di bawah pohon Oak.
Namun dengan berani St. Bonifasius menentang hal ini dan kemudian
menebang pohon Oak tersebut. Jemaat kemudian bertanya bagaimana caranya
mereka dapat merayakan Natal. Maka St. Bonifasius kemudian menunjuk
kepada pohon fir atau pine, yang melambangkan damai
dan kekekalan karena senantiasa hijau sepanjang tahun. Juga karena
bentuknya meruncing ke atas, maka itu mengingatkan akan surga. Bentuk
pohon yang berupa segitiga dan menjulang ke atas serta hijau sepanjang
tahun, inilah mengingatkan kita akan misteri Trinitas, Allah yang kekal
untuk selama-lamanya, yang turun ke dunia dalam diri Kristus untuk
menyelamatkan manusia.
Maka walaupun memang tradisi pohon cemara tidak diperoleh dari jaman
dan tempat asal Yesus, penggunaan pohon cemara tidak bertentangan dengan
pengajaran Kitab Suci. Dalam hal ini, yang dipentingkan adalah
maknanya: yaitu untuk mengingatkan umat Kristiani agar mengingat misteri
kasih Allah Trinitas yang kekal selamanya, yang dinyatakan dengan
kelahiran Yesus Sang Putera ke dunia demi menebus dosa manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar